Sandangan


2018-07-17 00:00:00

SANDANGAN


Kurator:
Arham Rahman 


Seniman:
Desita Anggina
Mella Jaarsma
Karina Rima Melati
Meta Enjelita

 

*Pembukaan:*
Selasa, 10 Juli 2018 / 19.00 WIB

Durasi pameran:
10 Juli - 10 Agustus 2018 
Meski seringkali dipergunakan secara bergantian, style dan fashion merupakan dua hal yang berbeda dan bukan kata yang saling bersinonim. Pada pakaian, misalnya, style adalah perbedaan cara menjahit atau perbedaan bentuk pakaian, sedangkan fashion, style yang lagi “naik daun”. Fashion merefleksikan “way of life” seseorang sekaligus parasit bagi style.

Fashion tidak pernah netral, tetapi diciptakan. Ia mempunyai nilai fungsi (penutup badan, penghalau dingin) dan bertaut dengan berbagai hal seperti pengalaman religius, pengalaman estetis, kebudayaan tertentu, ke pentingan moral, faktor politis, hingga kompetisi antar-korporat untuk dominasi pasar di dalam ranah budaya populer. Fashion memang selalu diasosiasikan dengan taste atau selera, tetapi selera itu dibentuk, historis, serta terkait dengan rezim tertentu.

Pameran ini bermaksud untuk mengeksplorasi asumsi-asumsi tersebut di atas, sembari dikaitkan dengan sejumlah gagasan lain yang direspons oleh masing-masing seniman. Kita hendak mengeksplorasi fashion, entah sebagai busana maupun bentuk-bentuknya yang lain. Ia bisa dihubungkan dengan akar kebudayaan tertentu, eksplorasi atas materialitasnya, hingga isu-isu khusus yang berkelindan di sekitarnya. Kita berangkat dari sebuah asumsi bahwa fashion bukanlah sesuatu yang terberi, taken for granted, melainkan sesuatu yang diciptakan.
 

Meski seringkali dipergunakan secara bergantian, style dan fashion merupakan dua hal yang berbeda dan bukan kata yang saling bersinonim. Pada pakaian, misalnya, style adalah perbedaan cara menjahit atau perbedaan bentuk pakaian, sedangkan fashion, style yang lagi “naik daun”. Fashion merefleksikan “way of life” seseorang sekaligus parasit bagi style. Fashion tidak pernah netral, tetapi diciptakan. Ia mempunyai nilai fungsi (penutup badan, penghalau dingin) dan bertaut dengan berbagai hal seperti pengalaman religius, pengalaman estetis, kebudayaan tertentu, kepentingan moral, faktor politis, hingga kompetisi antar-korporat untuk dominasi pasar di dalam ranah budaya populer. Fashion memang selalu diasosiasikan dengan taste atau selera, tetapi selera itu dibentuk, historis, serta terkait dengan rezim estetis tertentu. Seperti pada era Victoria, misalnya, seorang perempuan bangsawan dituntut untuk tampil anggun dengan menggunakan model gaun bertumpuk (ruffle) , menggunakan singset dan bawahan yang megar serta crinoline . Model pakaian ini terbilang menyiksa bagi para penggunanya, tetapi begitu populer di kalangan perempuan bangsawan dan dikenakan saat jamuan makan malam atau pesta dansa. Selain tren, fashion ini juga dianggap mewakili imaji estetik yang mewakili suatu masa di Inggris. Hampir di era yang sama, meski dengan konteks yang berbeda, aturan busana yang ketat juga pernah diberlakukan pada era kolonialisme di Indonesia, tepatnya pada masa kerja paksa. Saat itu, sebagai cara untuk membedakan suku atau asal-usul kawula pribumi, pemerintah kolonial menerapkan sebuah politik pakaian. Setiap pekerja dituntut untuk menggunakan pakaian yang sesuai dengan ciri khas daerahnya. Laki-laki Jawa, misalnya, harus menggunakan blangkon dan bawahan yang dilengkapi dengan sarung batik. Kasus yang lain, bisa kita tilik lewat kebijakan Orde Baru yang efeknya masih sangat terasa hingga sekarang, yakni fashion yang terkait dengan gaya rambut. Di tahun 1980an, laki-laki yang berambut panjang (apalagi bertato dan bertindik) diasosiasikan sebagai gali atau preman. Karena itu, ditetapkan standar tertentu, terutama di institusi-institusi pendidikan di mana setiap siswa diwajibkan untuk memotong rambut a la potongan rambut tentara (biasa juga dikenal sebagai “cukur resmi”). Untuk kasus yang lebih kontemporer, pada hari tertentu di dalam lingkungan pendidikan atau pemerintahan, setiap siswa atau pegawai diwajibkan untuk menggunakan pakaian batik atau pakaian daerah. Kepentingannya, afirmasi identitas sebagai bangsa atau identitas nasional melalui busana. Kasus-kasus tersebut tentu menarik untuk kita tilik. Untuk pameran ini, kita hendak mengeksplorasi fashion, entah sebagai busana maupun bentuk-bentuknya yang lain. Ia bisa dihubungkan dengan akar kebudayaan tertentu, eksplorasi atas materialitasnya, hingga isu-isu khusus yang berkelindan di sekitarnya. Kita berangkat dari sebuah asumsi bahwa fashion bukanlah sesuatu yang terberi, taken for granted , melainkan sesuatu yang diciptakan.