





Teks dan Konteks Ruang Hampa Arsitektur Indonesia
2019-06-09 00:00:00
Jaringan ugahari bersama Lembaga Studi Realino, KUNCI Cultural Studies, Indonesian Visual Art Archive (IVAA), dan Galeri Lorong menyelenggarakan sebuah workshop penulisan kritis arsitektur, melalui:
SEKOLAH (BUKAN) ARSITEKTUR
Teks dan Konteks Ruang Hampa Arsitektur Indonesia
di Ruang kelas Lembaga Studi Realino, Yogyakarta, 9 – 19 Juli 2019 | Jam 9.00 - 12.00 BBWI
Sekolah (Bukan) Arsitektur bertujuan - salah satunya - untuk memperkaya perspektif kritis dalam rangka membedah persoalan di lingkup studi arsitektur, melalui pendekatan interdisiplin. Pengayaan perspektif yang lain ini penting dan strategis untuk membaca bolak balik antara teks dan konteks, utopia dan realitas berarsitektur yang telah berlangsung hingga hari ini.
Era infrastruktur yang masif di Asia Tenggara sekarang ini merupakan era arsitek(tur).
Bukan main-main untuk mengatakan era ini dikuasai korporasi, dengan salah satu mesin utamanya: arsitek(tur). Arsitektur sebagai perpaduan ilmu keteknikan, seni, dan ilmu sosial mempunyai legitimasi dibandingkan ilmu-ilmu dalam lingkup pembangunan yang sejenis. Lingkup profesi arsitektur bukan hanya sekedar bangun-membangun rumah, namun juga mendulang tata (dan kelola) ruang kota, rancang bina lingkungan, termasuk kerja partisipatif yang biasanya menyasar hingga masyarakat (perdesaan maupun perkotaan).
Namun, bidang studi yang strategis pada masa yang kritis ini, sesungguhnya telah menjadi instrumentalis. Legitimasi keilmuannya semakin profesional dalam ranah desain, sehingga ketika hutan dikepras, bukit diratakan, teluk ditimbun, hewan ditiadakan, dll, itu merupakan konsekuensi desain. Praktik arsitektur sesungguhnya “mandi” diskursus praksis, namun ia justru terjerembab dalam lingkaran hirarki kuasa proyek yang mereduksi kemampuan kreatif dan menghabisi cara pandang kritis, menyisakan segumpal elit-elit arsitek(tur) yang mampu menempati posisi penting dari lingkaran developmentalisme.
Pendidikan arsitektur yang diharapkan mendorong kemampuan produksi pengetahuan yang kritis, justru terperangkap dalam jerat instrumentalisasi cara berpikir yang dominan pada era pembangunan. Memang menarik membaca artikel mengenai joglo yang tahan gempa dan kontemporer. Namun toh, hal itu bukan sesuatu yang baru bagi masyarakat dan sangat kurang memberi sumbangsih apapun pada ruang-waktu yang kadung kontemporer ini. Membicarakan ketukangan memang asyik, tetapi jika pembicaraan itu dilakukan tanpa melihat kenyataan bahwa ketukangan semakin dihabisi sistem kerja profesionalitas, posisinya sebagai buruh konstruksi, dan nalar korporasi, lantas mau apa? Pertanyaan “bagaimana” yang sebenarnya tajam mengupas mekanisme-mekanisme sosial yang menghadirkan problem sosial, lingkungan, dan kemanusiaan, direduksi menjadi “how to” yang dibayangkan linear tumbuh dalam ruang hampa yang dibatasi batas-batas kepemilikan, profesionalisme keilmuan desain, dan aturan main standar global cara membangun yang seragam dan eksploitatif.
Sekolah (Bukan) Arsitektur menyediakan ruang alternatif bagi peserta workshop penulisan untuk menggagas ide dan berpikir kreatif (non-instrumentatif), menyediakan ruang - terutama bagi perempuan-perempuan - arsitektur dalam ranah kritik arsitektur.
Mari bergabung dengan gembira.
-