Performing Craft: Craft sebagai Gramatika Tubuh


2017-09-10 00:00:00

Craft seringkali diposisikan sebagai bentuk kreativitas yang minor karena wataknya yang fungsional. Padahal, kalau kita tilik lagi, craft punya cakupan yang sangat luas, entah sebagai praktik maupun secara diskursif. Galeri lorong berupaya menjadi salah satu wadah dalam membicarakan craft. Karena itu, empat pameran yang kami rancang tahun ini (dan tahun-tahun berikutnya) akan selalu mengangkat soal craft, yakni craft sebagai material/medium, craft sebagai metode, craft sebagai gramatika tubuh dan craft sebagai konsep atau perspektif.

Pada proyek kali ini kita akan berupaya membaca craft sebagai gramatika tubuh atau melihat dimensi performativitas dan interaktivitasnya. Sudah cukup banyak kajian maupun praktik yang menautkan antara craft dengan performance. Ini sangat terkait dengan bagaimana craft direspons sebagai medium artistik, yang dibedakan dengan model renspons di dalam fine arts. Performance bisa dibilang menjadi salah satu cara untuk mengangkat craft dari sekadar benda fungsional menjadi sesuatu yang bisa dibicarakan secara luas.

Di dalam fine arts, evaluasi estetis itu disebut “respons estetis”–artinya kita menilik kriteria estetis (kriteria formalnya) dan karakter semantik (interpretasi) dari sebuah karya. Model seperti ini sebenarnya bias, sebab tidak memberi ruang pada medium artistik yang berwatak fungsional semacam craft. Karena itu di dalam craft digunakan model respons yang berbeda, disebut “meta-respons”. Dengan pendekatan ini, estetika craft bisa dibaca, tidak dalam kategori formal saja, tetapi juga dari proses dan interaksinya dengan publik–atau respons estetis lewat aktivitas fisikal.

Craft sangat lekat dengan aktivitas fisik atau tubuh, entah di dalam proses kreasi maupun saat ia difungsikan. Itu lebih karena craft menubuh di dalam keseharian kita; pakaian, gelas, tas, keramik, desain dan arsitektur, dlsb. Jadi tidak semata sesuatu yang sifatnya ornamental atau dekoratif, tetapi juga dipergunakan di dalam keseharian. Sejumlah kajian berupaya menerjemahkan gagasan tersebut, misalnya yang dilakukan Richard Sennett dengan melebarkan gagasan tentang labour power dalam craft yang dikaitkan dengan proses kerja yang ‘know how’. Gagasan tersebut mengandaikan bahwa tangan (keterampilan), alat yang digunakan, dan pikiran saling beresonansi dalam proses kerja craft. ‘Praktik’ kerja craft menghubungkan manusia (pikiran dan tubuh) dengan benda (alat dan material).  Hanya saja, gagasan ini terlalu bertumpu pada ‘praktik’ pembuatannya, bukan produk yang dihasilkan dan efek lain yang mungkin muncul setelahnya.

Melalui proyek ini kita bermaksud untuk melihat dimensi yang lebih luas dari sekadar ‘praktik’ kerja craft. Kita mau mensimulasikan bagaimana ia diterjemahkan dan direspons, entah melalui bantuan medium lain di luar medium tradisional craft atau membuatnya hidup dengan menggali potensi interaktivitasnya. Sederhananya, ada produk dan ada respons atas produk itu. Bisa jadi juga melalui interelasinya dengan berbagai persoalan sosial. Ada salah satu perandaian yang mungkin bisa membantu kita untuk membayangkannya, yakni tradisi minum teh di Jepang (?? sad?, chad?, jalan teh).

Barangkalai contoh ini sedikit simplistik, tetapi sedikit banyak mengilustrasikan posisi craft dalam kaitannya dengan tubuh secara sosial atau kultural. Tradisi minum teh di Jepang (atau kawasan lain) bukan sekadar aktivitas konsumsi, melainkan juga sebuah peristiwa kultural. Dalam tradisi itu kita bisa melihat berbagai fitur yang membangun makna tentang aktivitas meminum teh; dari benda yang digunakan hingga sikap tubuh saat aktivitas itu berlangsung.

Proyek ini barangkali sedikit spekulatif. Namun spekulasi selalu tetap diperlukan untuk mencari bentuk-bentuk artistik baru. Selain itu, cukup banyak potensi yang mungkin kita eksplorasi. Harapannya, kita bisa mengurai sedikit demi sedikit potensi-potensi itu sehingga kelak bisa menjadi satu wacana yang utuh mengenai craft dalam konteks seni rupa kontemporer kita.

-