Mereka-reka


2017-05-17 00:00:00

Pada pameran ini Maharani Mancanagara dan Zulfian Amrullah bekerja dengan material kayu. Keduanya punya cara pandang dan metode yang berbeda dalam memperlakukan material itu. Maharani, pada semua karya yang pernah ia kerjakan, selalu menggunakan jenis Pinus bekas yang ia peroleh dari perusahaan jasa pengiriman atau peti kemas. Menurutnya, Pinus juga punya karakter yang berbeda-beda, bergantung pada usia dan asalnya. Kelihatan rapuh, tetapi sebenarnya kuat. Rani mengaku lebih senang mengolah kayu yang berasal dari Eropa karena dianggap lebih lurus dan berwarna putih kekuning-kuningan. Saat permukaan bidang kayu digambar dengan arang, kesannya jadi seperti potret lawas. Pewarnaan yang memberi kesan lawas itu dianggap senapas dengan gagasan karyanya yang memang merespons persoalan sejarah. Sementara Pinus yang berasal dari Asia, dia anggap cenderung basah, meliuk, dan berwarna kemerahan.

Adek Dimas Ajisaka dalam pameran ini menampilkan karya-karya dengan material daun. Daun, dalam hal ini daun kering, termasuk material yang menyulitkan karena teksturnya sangat rapuh. Belum lagi potensi pembusukannya yang terbilang sangat cepat—tantangan dari material itu yang mula-mula mesti diatasi Dimas sebelum mengolahnya dengan teknik cut-out, memotong bagian tertentu dari daun sehingga menghasilkan lubang yang membentuk garis maupun objek tertentu.

Nindityo tampak cukup kritis pada dunia industri yang dianggap membuat kita kehilangan kekuasaan untuk memanfaatkan sesuatu yang ada di sekitar kita. Industri barang plastik, misalnya, menciptakan sesuatu yang fungsional dan simpel, tetapi melucuti kekuasaan kita untuk ‘memperbaiki’. Kalau ia rusak, kita tidak memperbaiki, tetapi membeli yang baru. Gagasan seperti itu ia tuangkan dalam wujud instalasi, menggabungkan antara benda-benda siap pakai (readymade object) yang dikumpulkan, dilubangi, dan dianyam dengan pola lungsen dan pakan. Karya ini bisa dilihat sebagai personifikasi kehidupan manusia modern yang terasing dari barang konsumsinya sendiri.

Setidaknya lewat pameran ini kita bisa kembali merefleksikan urgensi dari materialitas dalam seni. Makna dari sebuah karya seni juga ditentukan oleh elemen-elemen yang digunakan untuk mewujudkannya.

-

Pameran ini berkepentingan untuk mengeksplorasi material-material yang biasanya akrab dalam craft, terutama material “alami” seperti kayu, daun, mendong, dll. Material-material tersebut menjadi pelatuk untuk membicarakan dan mengeksplorasi berbagai persoalan, entah itu sejarah, pendidikan, lingkungan, konsumsi dan persoalan sosial lainnya. Kepekaan dan kecakapan dalam mengolah material, batas-batas, serta kelenturan dari material-material itu sendiri juga menjadi isu pokok yang disoroti di dalam pameran ini. Kami meyakini gagasan sebuah karya tidak berdiri di luar materialitasnya. Suatu material sudah membawa pesan tertentu atau mempunyai dimensi estetisnya sendiri, meskipun tidak bisa dibilang ia inheren atau ada pada dirinya sendiri—dalam arti kata, tafsiran atau pemaknaan orang atas watak material itu tetap historis. Orang memilih sebuah material karena ada himpunan makna yang dilekatkan secara sosial di dalamnya diandaikan bisa membantu untuk menghantarkan gagasan tertentu atau malah dirasa terhubung secara personal. Asumsinya, mengubah material yang digunakan, meskipun gambar bentuknya sama, akan mengandaikan pesan yang berbeda. Setidaknya lewat pameran ini kami berupaya kembali merefleksikan urgensi dari materialitas dalam seni. Pameran ini mengundang empat orang seniman yang memang bekerja dengan material-material alami. Keempatnya punya metode, teknik, pendekatan, gaya dan imajinasi yang berbeda dalam memendang atau memperlakukan sebuah material. Tentu kami berharap ada dialog yang intens dan kritis dengan beranjak dari pembicaraan soal material dalam medan seni kiwari (kontemporer) Indonesia.